Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Denyut Merah, Kuning, Kelabu

Jantungku berdenyut cepat. Aku memimpikannya lagi. Ia tertelan kabut di sebuah jalan beraspal. Lenyap. Tak dapat kucegah. Mengapa aku harus terjebak atas kehilangan yang anomali ini? Aku tidak sungguh-sungguh mengenalnya. Akrab pun tidak. Mengapa ia mendatangiku di sepertiga malam? Seolah malaikat menundukkan diri di atas ranjang, mengatupkan sayapnya yang lebar dan menitipkan kode-kode dalam kepingan mimpiku. Lima hari ini. Terus-menerus. Saat terbangun tubuhku telah menggigil. Jemariku kaku. Ujung kaki ngilu. Sendi-sendiku rasanya menegang. Gigi bergemelutuk. Daster yang kukenakan lembab oleh keringat. Hampir saja kupastikan bahwa aku terkena demam berdarah. Nyamuk beredar lebih banyak di musim kemarau ini. Apakah gigitan nyamuk sekarang mampu menciptakan mimpi buruk? Mungkinkah mereka telah bermutasi tanpa seorang ahli serangga pun tahu? Namun, dokter mengatakan aku baik-baik saja dan aku sama sekali tak merasa demikian. *** Ia bernama Noni. Menjadi tetangga sebelah ka

Waktu untuk Tidak Menikah

Di hari pernikahannya, Nursri bangun menjelang subuh, pukul tiga lewat tiga puluh menit, persis ribuan pagi sebelumnya saat ia masih berkerja di Timalayah sebagai buruh pabrik buku tulis. Beberapa orang, kerabat yang samar-samar ia kenali, tampak sibuk di dapur. Ia dengan canggung melempar senyum santun, sembari melangkah menuju tali jemuran, mengambil handuk dan bergegas masuk bilik kecil di sebelah sumur berkatrol. Ia tidak bisa menikmati kesegaran air yang selalu diidam-idamkannya dulu saat masih di Timalayah. Ia merasa dadanya bergemuruh, mengetahui bahwa pernikahannya akan menjadi prosesi upacara yang singkat, lalu tahu-tahu malam tiba. Saat itulah, Laksmo akan menuntutnya bercumbu untuk kawin secara sah. Nursri ingin berlama-lama di kamar mandi, padahal tak perlu lagi terlalu rinci membersihkan tubuh. Seminggu yang lalu bulek-budenya sudah memojokkannya untuk menjalani lulur satu badan dengan berbagai ritual perawatan diri agar keponakan yang sudah molek itu semakin bersina

Take a break

Sepasang Bulu Mata Merah

Bagi Nurul, menangis adalah bentuk keputusasaan. Ia nyaris tidak pernah ditemukan menangis. Ia tidak mengizinkan kedua pelupuk matanya berair diterjang gelombang kesedihan. Ia benci menangis. Potongan-potongan kepahitan yang berjatuhan dalam hidupnya, ia telan satu-satu, tanpa menangis. Namun kali ini berbeda. Sangat berbeda. Airmata bergulir, tetes demi tetes, semakin banyak, menggenang, menganak sungai. Tidak dapat dihentikan. Ia menangis tanpa suara. “Aku menyerah,” putus seorang perias dengan nada pedih. “Maafkan aku,” ujar Nurul. Lelehan airmata melunturkan maskara, eyeliner dan alas b e dak yang tadinya menempel dengan sempurna. “ Kau rusak h asil karyaku selama dua jam,” keluh perias sambil memasukkan bermacam ukuran kuas, botol kutek s , perona pipi, penjepit bulu mata, lipstick, dan kotak-kotak eyeshadow dengan gusar ke dalam peti kosmetik berwarna merah. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Biasanya, klienku menangis saat akad nikah berlangsung. Itu mengesa