Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2016

Elegi Perantau

Seorang perantau tidak akan mudah menjadi peziarah sewaktu-waktu. Kenyataan ini sudah diketahui Lekang ketika ia hanya bisa termangu di samping meja operator warnet, setelah mendapat kabar kematian dari Arah, Sang Ibu. Hari itu hari ketiga ia resmi menjadi perantau pemula. Arah dengan suara serak mengabarkan bahwa Khadim meninggal. Bocah berusia 12 tahun itu adalah anak tetangga yang pernah menjadi anak asuh di keluarga Lekang. Khadim istimewa bagi Lekang. Ia telah menganggap Khadim sebagai adiknya karena selama dua tahun berbagi kasur di loteng rumah. Namun, Ibu Khadim, Fatmah, tidak menyukai anaknya diambil alih oleh keluarga Lekang. Khadim anak ketiga dari lima bersaudara dan sudah dianggap mampu membantu keluarga batihnya membanting tulang. Suatu pagi Fatmah pamit pada guru-guru di sekolah, mencabut hak Khadim bersenang senang di ruang kelas. Khadim resmi menjadi asisten bapaknya, Pak Saeri, penjual nasi goreng. “Truk menabraknya saat ia mendorong gerobak nasi goreng bers

Perkara di Kedai Serba-Serbi

“Kekasihku, aku sedang gelisah akhir-akhir ini,” ucapku, membuka obrolan di Kedai Serba-Serbi. “Tampak dari pilihan menumu,” komentarnya datar seraya melirik segelas susu jahe dan nasi sarden yang telah kupinggirkan di tepian meja bundar. Biasanya aku akan memesan segelas teh hijau dan segulung serabi manis. Aku ikut melirik menu yang terlanjur kupesan, sekilas. Agak merasa bersalah. “Aku rikuh jika mengeluhkan kegelisahanku yang satu ini padamu.” Ia tersenyum, menuang bir murahan ke dalam ceruk lebar menganga yang sangat kuminati. Aku selalu heran pada tabiatnya, seolah bir adalah air kendi—dan pada seleranya, seolah tidak ada lagi minuman berkelas di kedai ini. “Aku takut kau akan berburuk sangka. Berpikir yang tidak-tidak tentangku.” “Sejak kapan prasangkaku yang tidak-tidak menjadi benar di matamu?” Duh, dia lagi-lagi memelintir pertanyaan yang membuatku mulas. Aku melirik kembali pada gelas susu dan piring nasi yang masih penuh. Tampak ikan sarden kepala buntung

Janji di Aokigahara

Aku masih ingat, tentu saja, bukankah aku ditakdirkan untuk mengingat detail-detail sederhana tentangmu? Kita berdua duduk-duduk di bawah Pohon Ketapang yang rindang siang itu, memandang ke depan. Sepetak lapangan voli yang tak seberapa besar tampak lengang. Saat itu Jumat, sebagian besar teman kita sedang shalat Jumat berjamaah di masjid kampus. Sekumpulan pelanggan kantin telah berangsur-angsur bubar. Kau menyalakan sebatang rokok dan aku sibuk memelintir ujung jilbabku. “Aku sudah cerita belum?” tanyamu, mendongak sekilas ke atas rerimbunan daun yang berbentuk bulat telur terbalik. “Tentang apa? Petilasan di Gunung Lawu? Misteri Ranu Kumbolo? Atau... Misteri Gunung Merapi?” tanyaku balik dengan seringai jahil. Kau mengumpat pelan, seraya mengatai tawaku yang mirip Mak Lampir. “Kau percaya dengan cerita-ceritaku yang seram itu?” sekarang wajahmu seserius asap rokok, tampak keruh. “Bagaimana aku mau percaya? Naik gunung saja aku tak pernah, wahai Pecinta Alam! Hahah

Dialog dengan Bulan

Sebingkai jendela, persegi panjang, kala siang larut dan di tengah bolongnya malam selalu tertutup. Rapat. Tergembok. Sepasang engselnya nyaris ingin berkarat, dan sepasang ranting besi penyangganya lunglai tak mengait. Dari luar tampak jendela itu miskin makna. Jendela tidak ingin memaknai mentari pagi yang hangat dan bersahabat, tidak pula sudi memaknai semilir angin sepoi yang berdesir-desir. Bahkan ia pun tidak lagi sempat memaknai pecahan air hujan yang menombaki permukaan kacanya dengan kukuh namun tetap romantis dalam ritmenya. Dari dalam rumah berlantai dua, jendela sekotak itu saja yang terus tertutup kelambu rapat-rapat. Jendela yang membuka sekat antara sebilik kamar dengan dunia luar. Namun apa daya, kerangka kayu kusennya bisu, kacanya pun buram berdebu. Sebab, penghuninya sedang rapuh. Aih, lantas mengapa aku kisahkan padamu tentang jendela yang tak berdaya guna? Kemarilah, aku toh berniat kisahkan kenanganku yang sepenggal-sepenggal tentang bulan dan jendela adal