Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

Menuju Senja

Dia baru selesai menyelesaikan makan siang, saat kenangan itu meluncur jatuh dari rak teratas di otaknya. Berdebam. Membuatnya tersentak dan kukunya yang berkuteks tergelincir dari layar gawai. Tidak ada yang memantik. Tidak ada lagu, tidak ada aroma, tidak ada sesuatu di hadapannya yang membuat kenangan itu harus terjatuh. Menggelinding. Menghampiri ujung kakinya. “Kau pernah mengalami yang demikian?” coleknya pada teman kantor yang kebetulan melintas di samping mejanya. “Pernah. Mungkin kamu butuh istirahat sebentar.” “Tidur siang?” “Ya,” ujar temannya sambil menunjuk ruangan di sudut kantor yang berkelambu misterius. Ia mengangguk. Melangkah menuju bilik rehat. Di dalam bilik tersebut ada sofa empuk yang dapat direbahkan menjadi kasur lipat. Ia mencoba berbaring. Kenangan yang menggelinding itu telah dipungutnya dan kini mengeluarkan gas untuk memenuhi otaknya. Kenangan itu berisi luka. Ia masih merasakan ngilunya, meski samar. Sesosok bayangan berkabut muncul. Lela

Menanam Airmata

Ajarkan padaku bagaimana kau menanam airmata yang lupa bagaimana caranya ‘tuk berbunga. Waktu ialah tanah yang pantang kerontang, katamu, ditumbuhkannya benih hujan pada keabadian. Ajarkan padaku bagaimana kau menggembur menyubur melankolia karbitan yang membusuk sebelum waktunya berbuah. Kelak bolehkah aku membantumu menuai bahagia yang mungkin saja selamat dari serbuan hama? Jangan berharap pada musim yang penyaru, katamu, menunggu bukanlah bagian dari seni bercocok tanam airmata. Maka musim panen yang kau banggakan itu hanyalah ragu yang meranggas di layu matamu. Hei petani sunyi, tahukah kau bahwa istirah ketika lelah hanya akan membuatmu terbakar gersang di kebun dukamu? Bersiaplah memangkas doadoa yang tumbuh liar di balik capingmu. Tangismu ialah bunyi bagi matahari yang terisak lebat di subur kebunmu. Aku mengerat nyeri di kejauhan, menutup telinga dari teriakan cangkulmu. Ulat dan bulu berpesta di bayang bulu matamu, hujan ber

Prelude

Di usia dua puluh empat tahun, ia masih sama, layaknya empat tahun silam. Minus di kedua matanya tak bertambah, empat koma lima. Itu berarti ia tak butuh kacamata baru. Kacamata yang saban hari menggantung di batang hidungnya adalah kacamata yang ia beli empat tahun yang lalu. Kacamata yang sebelumnya, bertangkai goyah dan lensa sebelah kirinya retak. Sebenarnya bisa diperbaiki. Tapi ia memilih untuk tidak. Ia biarkan begitu saja kacamata berbingkai merah tua yang teronggok di laci lemari. Ia diamkan dan mengganti dengan bingkai cokelat warna kayu mahoni. Ia memilih begitu. *** Seorang perempuan berjerawat matang duduk di ujung bangku berwarna metalik dekat teralis yang membatasi peron stasiun dengan teras loket. Ada empat loket, dua dengan antrian mengular untuk pembelian tiket kereta jarak dekat, dan dua yang lain untuk reservasi kereta jarak jauh. Tampaknya melompong, tapi antrian di loket kereta jarak jauh yang pemesannya dilayani hingga sembilan puluh hari sebelum keberan

Menjelang Waktu Pulang

Ada masanya ketika lidah tak lagi peduli rasa makanan yang tak jelas mana asin mana pahit mana pedas. Manusia makan hanya untuk bertahan hidup; pun manusia berbahagia agar siap bersedih lagi di satuan waktu berikutnya. Toh kau tetap saja mengajakku makan, di suatu kafe murah di tengah riuh kota, mengenang masa muda yang tergesa tergelincir dari jemari kita yang penuh noda tinta dan bilur luka. Ada masanya ketika gelisah tak lagi menyembunyikan diri di balik kaca helm dan senyum palsu. Katakata mengoyak kesedihan di udara, terbentur denting garpu dan gelas berembun. Di luar jendela ada pohon berbunga kuning seperti di halaman Fakultas; di dahannya tergantung mimpimimpi yang tak pernah kita beri nama. Aku pernah punya satu bibit pohon itu, lalu hilang ke mana entah, seperti juga cinta yang enggan kusimpankenang. Di setapak berbatu itu, sayangku, pada malammalam gelap mencari semangkuk kebahagiaan. Telur dadar terlempar jauh dari teflon dan mendarat di permu

Pada Matamu yang Laut

Matamu: jiwajiwa gelisah yang melaut samudera; kapal tua yang berlayar di malam purnama. Rebahkan biru pucat tubuhmu di tegar karang, labuhkan gemetar lututmu di pelukan pasir pantai. Bibirmu gemetar mengeja rindumu akan rumah dan hangat masakan ibu. Jalan pulang terhampar samar di peta bintang; ciuman kekasih kian memudar di kening. Pulanglah, pelaut, kembali dari pelayaran sejauh tepi semesta. Pulang dan bawalah mimpimimpi yang tak sempat hanyut ke dasar laut. Jakarta, 20 Oktober 2016

Bandara dan Tautan Jemari

Aku tahu. Ya, aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Pembaca. Aku berusaha untuk sok tahu. Karena memang aku terlahir sebagai wanita percaya diri yang kadang tampil sok tahu, menebak apa yang tercetak di pikiranmu. Eh, pikiran kita sama bukan? Setidaknya agak sepaham. Ini mengenai tempat umum, terpusatnya transportasi publik dan beginilah hidup kita, nasib menjadi manusia modern. Bergerak ke sana ke mari, menyusutkan jarak dan waktu demi kepentingan-kepentingan globalisasi. Kita membuat tempat umum menjadi persinggahan sementara untuk perpindahan yang nyata, secara spasial, dan tiba-tiba saja banyak kisah yang tertimbun di dalamnya. Kau sepakat jika terminal bus menjadi tempat yang romantis? Kau punya kenangan khusus tentang terminal? Berkaitan dengan orang-orang istimewa yang kau temui dan kau lepas dengan berat hati di sana. Hidupku dipenuhi potongan-potongan memori dari terminal bus. Kau salah, aku bukan bagian dari terminal bus, jika kau berharap aku akan menceritakan suka