L angit menggelegak. Aku mengintip dari tiras tirai kelas. Tampak dari kejauhan, di atas sana, sobekan awan mendung bergerak semakin mendekat. Sejenak pertanda alam ini membuatku gelisah. Sengaja kupilih rasa hampa, berusaha kembali menekuri buku diktat, seraya mencoba abaikan apa pun. Benar, apa pun, terutama tentang hujan. Samar-samar terdengar suara kelotak sepatu bertumit tinggi, lalu disusul dengan sesosok wanita muda berblazer merah marun memasuki ruangan tempatku berada. “Astaga, belum pulang juga kau rupanya Sri,” komentar Juwita, menghampiri kursinya tadi. “Kok balik lagi, Juwi?” tanyaku, mengabaikan komentarnya. Juwita sibuk meneliti laci kolong kursi. Berkali-kali ia melongok namun tak didapatinya benda yang ia cari. “ Notes -ku ketinggalan. Ya ampun, banyak catatan penting di dalamnya. Aku buru-buru tadi, jas hujan ketinggalan lagi. Oh, astaga, sial betul hari ini. Siapa juga yang mengira bakal hujan? Ini musim kemarau bukan?” keluhnya dengan mimik sebal. “Mangs
Kumpulan karya pendek. Update Tiap Sabtu jam empat sore kalau sedang tidak bad mood