Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

Ketika Bapak Tak Mampu Lagi Membaca

L angit menggelegak. Aku mengintip dari tiras tirai kelas. Tampak dari kejauhan, di atas sana, sobekan awan mendung bergerak semakin mendekat. Sejenak pertanda alam ini membuatku gelisah. Sengaja kupilih rasa hampa, berusaha kembali menekuri buku diktat, seraya mencoba abaikan apa pun. Benar, apa pun, terutama tentang hujan. Samar-samar terdengar suara kelotak sepatu bertumit tinggi, lalu disusul dengan sesosok wanita muda berblazer merah marun memasuki ruangan tempatku berada. “Astaga, belum pulang juga kau rupanya Sri,” komentar Juwita, menghampiri kursinya tadi. “Kok balik lagi, Juwi?” tanyaku, mengabaikan komentarnya. Juwita sibuk meneliti laci kolong kursi. Berkali-kali ia melongok namun tak didapatinya benda yang ia cari. “ Notes -ku ketinggalan. Ya ampun, banyak catatan penting di dalamnya. Aku buru-buru tadi, jas hujan ketinggalan lagi. Oh, astaga, sial betul hari ini. Siapa juga yang mengira bakal hujan? Ini musim kemarau bukan?” keluhnya dengan mimik sebal. “Mangs

Lelayu

 “ Sejatinya aku memilih hidup dalam zona ini, dan menjadi zombie bukan pilihan yang terbaik...” Menjadi seorang yang meneruskan lagi, garis keturunan yang tiba-tiba saja bertingkat, karena pendidikan dan gelar. Itulah nasib yang tidak bisa kuprotes, sejauh ini, dalam suasana kekeluargaan yang serba perfeksionis. Terlahir dengan nama Mika, berusia di awal kepala tiga, namun rencana bersuami pun hanya sebatas awang-awang di atas titian pelangi. Sudah beruntung namaku dicomot dari kata “akademika” bukan “akademis” yang akan menjadikan estetika panggilanku merosot tajam. “Hai Demis..” bisa kau bayangkan seseorang menyapamu demikian? Keluarga besarku adalah keluarga gila status pendidikan. Ayahanda seorang rektor universitas tersohor di kotaku, bunda seorang ahli gizi yang sering memberikan seminar di berbagai kota, paman menjadi kepala riset lembaga iptek nasional, kakek seorang guru besar kehormatan di negeri sebelah, dan yang lain-lain S2 adalah batas minimal jenjang status

Pelayaran Rumah dan Samudra

Kami telah lupa, kapan pertama kalinya kami menjadi satu keluarga. Utuh, dalam satu dimensi yang lekat, flat, dan rapat. Kami adalah makhluk-makhluk yang ditakdirkan untuk tetap dekat, saling berdekatan, melengkapi satu sama lain. Meskipun tidak ada satu pun yang peduli pada beberapa penanggalan penting layaknya manusia, kami justru hapal tanggal lahir kami, di hari kematian. Kami tak pernah memperingati hari ulang tahun, meski jarak kelahiran kami berdekatan dalam hitungan menit dan jam. Karena kami lahir di hari kematian. Sepakat, tak ada yang setuju jika kami berpesta untuk mengenang duka. Aih. Aku lupa perkenalkan diri. Namaku Camelo, seekor jerapah betina berbintik putih. Keluargaku terdiri dari Pak Thera, seekor singa, Ephas, gajah tambun, Phin, lumba-lumba jelita, si kembar beruang Teddy dan Teddo, Mirou sang anjing laut, serta Boo, sapi coklat. Kami berdelapan berkomitmen akan selamanya bersama, baik dalam suka maupun duka, bahkan meski harus mengarungi samudra. Shi

Epos Senja

                 Hujan membasahi tanah sekeliling Pendopo Trimurti. Aroma rumput yang jarang sekali tercium di gedung-gedung pencakar langit sekarang menggelitik ujung hidungku. Aku melangkah dengan kamera yang menggantung di leher tanpa seorang pun mengimbangi langkahku. Pandanganku menyapu sekeliling pendopo. Bangunan teduh yang terbuka dengan gapura panggung berhias kepala Kala [1] , lalu kursi-kursi nyaman yang melingkar, menyisakan lantai dingin untuk ditapaki kaki kaki lincah penari. November, Jogja lebih sering diselingi hujan dan itu menyebabkan jadwal Sendratari Ramayana berganti pada ruang tertutup. Aku memesan duduk kelas VIP, kelas termahal yang menawarkan pemandangan terbaik, lurus berhadapan dengan panggung penari. Kursi-kursi masih kosong, suasana pun lengang. Acara sendratari masih akan dimulai satu jam lagi. Aku terlalu bersemangat rupanya.                 Kakiku melangkah menuju belakang pendopo. Di sana terdapat dua ruang rias dan tempat berkumpulnya para pena