Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Masasoul

Aku diliputi sensasi keanehan yang membeku dalam udara pengap kamarku, tatkala cermin setinggi dua meter berdiri kokoh di depan ranjangku, persis. Hawa dingin menyeruak serasa menggelitik tengkuk. Cermin itu berbingkai hiasan sulur, yang merambat ke atas dan berhenti di puncak dengan kepala ular menganga lebar. Entah ular jenis apa, aku tak peduli, namun ia seolah-olah memamerkan taring berbisanya, mengancamku.  Aku terpaku di depannya, mendongak. Entah kenapa, yang kurasa justru ular itu hidup, menyeringai memberi salam. Kuamati sekujur bingkai cermin yang berkaki dua, mengadopsi kaki elang yang berkuku tajam. Lagi-lagi aku dilanda perasaan ngeri saat kaki kaki itu seolah nyata dan akan segera mengoyak seonggok daging perempuan muda.  “Apa kubilang? Cermin ini sangat menakjubkan bukan? Aku senang melihatmu sampai terbengong-bengong mengagumi benda temuanku ini,” ujar seseorang sembari mengalungkan lengannya ke pinggangku dari belakang. Aku menoleh, kutahan dir

Kontemplasi Tato

Tidak satu pun orang yang pernah kutemui, memiliki kegemaran yang sama denganku. Aku merasa perlu menularkan minat, agar aku tak kesepian, itu saja motifku sebenarnya. Ya, aku seorang dari ratusan juta ras mongoloid yang telah bercampur dengan deutro melayu. Tinggi sedang, kulit kuning kecoklatan, hidung pesek, dan rambut lurus hitam. Namun yang menjadi identitas kuat di sini adalah—justru aku tidak bertato. Sebuah ruang kecil tampak penuh sesak, namun sarat dengan luapan ekspresi bahagiaku. Hanya sepetak 4x5 m, dengan titik zenith sebuah lampu kuning bergantung dari langit-langit. Tidak tergoyahkan, kecuali atas izin alam, angin bertiup maupun gempa menggoncang. Beberapa orang telah melingkar, mengelilingi sebuah baki plastik hijau berisi aneka kudapan merakyat. Sudah setengah jam pertemuan ini berlangsung. Tentu saja, aku yang membuka acara karena aku pula pemrakarsanya. Aku mulai dengan mengenalkan diriku ulang. Seorang pemuda yang gemar berburu manusia bertato di negeri

Pisah Ranjang

Sepasang suami istri yang dulu hidupnya dijamuri kebahagiaan, kini mengharap-harap rejeki yang tercurah dari langit bak hujan deras. Mereka berdua tinggal di sepetak rumah kontrakan di permukiman. Berhimpit-himpitan dengan kediaman ibu-ibu muda yang gemar mengeluhkan upah suaminya sebagai buruh bangunan, pelayan bersih-bersih, atau sopir bemo. Mereka berdua telah dikaruniai tiga orang putri yang kini telah menyebar di sudut-sudut kota besar. “Agisti menanyakan mengapa telepon rumah tak lagi bisa dihubungi,” kabar Sang Istri datar. “Kamu belum bilang ke Agisti kalau rumah kita disita dan kita terpaksa pindah kemari?” tanya suaminya keheranan. “Tidak bilang tepatnya. Ketiga anakku tidak boleh tahu kita terkapar di gubuk reot ini. Kemarin Intan pun akhirnya meneleponku,” sang Istri menunjukkan ponsel barunya yang bekas. “Perlu apa kamu membeli ponsel lagi? Kita-sudah-punya-satu!” “Itu ponselmu! Aku suka yang berwarna dan berkamera biar aku tak seperti nenek-nenek yang ketingg

Lubang Plastik

Orang-orang bilang ia berlebihan. Benar adanya. Namun hanya segilintir yang tahu bahwa ia seperti neraca berat sebelah, terus terombang-ambing. Jika bukan neraca, ia mirip papan jungkat jungkit, akan selalu terpental ujungnya saat menyentuh besi spiral atau pun ban bekas yang tertancap di bawah papan, karena separuh lagi terbenam di tanah. Lantas hanya seujung kuku yang tahu bahwa ia seperti dua kutub, bipolar , sebut para psikiater langganannya. Beberapa orang pakar itu –yang katanya ahli urusan kejiwaan—yang menyelami tingkat absurditas alam pikir manusia—bilang, emosinya bermasalah. Sungguh bermasalah. Orang-orang bilang ia berlebihan. Lebih mudah lelah, lebih mudah marah, lebih mudah gelisah, lebih mudah menangis, lebih mudah bahagia yang gugup, dan lebih mudah berdiam diri. Mengosongkan diri, istilah favoritnya saat ia merasa berada dalam jeda dunia nyata dan imajinasi. Sering kali, ia berjalan, sendirian, tanpa memandang sana-sini, tanpa membaca petunjuk jalan. Ia bilang, “t

Pada Makam Memanusiakan

Sarapan itu seperti menguap, menembus hawa yang berangsur-angsur hangat, melayang tak kasat mata sebab tertelan cahaya pagi. Kalori tampak semakin tidak berarti dalam sepiring penuh nasi jagung lauk tempe bongkrek dengan sayur daun singkong bersantan, tatkala tanjakan semakin tajam. Warung pinggir desa yang terletak di kaki bukit sudah jauh tertinggal di belakang. Setapak yang berkelok-kelok panjang ini kami lewati dengan jalan kaki. Kepayahan aku mengimbangi langkah-langkah lebar, yang seolah medan gravitasi diciptakan lemah di tapak kakinya. Ia dengan ringan menyusuri jalan tak bertuan, semakin cepat saat puncak bukit semakin dekat. Bulir-bulir keringat mulai menetesi kemeja hitamku. Sesekali aku mengacuhkannya, dan sesekali sebulir air asin itu meluncur bebas, melewati seleret alis dan jatuh di kelopak mata yang berkedip. Pedas. Aku sembari sibuk menghirup udara pedesaan yang sangat bersahaja, sibuk pula membayangkan siapa yang sedang menunggu kami di atas sana. Jika rasa kein