Langsung ke konten utama

Kucing dalam Kardus

Hujan turun dengan komitmen level malaikat lima hari belakangan. Dimulai dengan langit suram, angin kencang yang lembab dan air yang merintik semakin lama semakin deras. Ya, hanya malaikat yang bisa seserius ini menumpahkan jutaan galon air tepat selepas Ashar. Kalau begini, sederet warung di Pujale tampak redup, meski lampu-lampu neon dinyalakan di sepanjang bangku kayu yang disekrup ke semua ujung kakinya.
Hujan memaksa para penghuni dan pendatang Pujale duduk berhimpitan. Menggeser meja, tikar, tas dan pantat agar tak terkena cipratan hujan. Apa boleh buat, para pedagang hanya bisa pasrah pada cuaca. Ada yang meringkuk di pojokan dengan mengenakan masker, ada yang merapatkan jaket, ada pula yang merebahkan kepala di gerobak sambil sesekali melongok parkiran. Puluhan sepeda motor kebasahan, diabaikan para mahasiswa. Mereka lebih  memilih mendekam di gedung-gedung kampus yang hanya berjarak dua puluh meter dari Pujale.
Jika sudah demikian, kesedihan melingkupi para penjual. Ingatan kami yang meluap, sekonyong-konyong mengairi lamunan. Hujan menghanyutkan kegelisahan yang timbul tenggelam karena waktu terasa lambat. Ada yang sedih karena laci melompong. Duh, nggak nutup modal hari ini buat belanja besok! Ada yang sibuk memikirkan tagihan hutang. Hari ini kok sudah tanggal segini aja sih? Ada juga yang muram teringat kekasih yang tak lagi merindu. Si Anu lagi ngapain, yah? Sisanya masih berharap waktu berputar cepat, sembari melakukan beberapa pekerjaan, menunggu senja segera datang dan masanya beberes pun tiba.
Aku satu-satunya penjual yang akhirnya memilih membuka laptop, lalu mencoba menulis.
Kau percaya ada penjual kaki lima yang mengetik kisah di tengah hujan lebat? Ini 2014.
Aku ingin  menulis cerita tentang seekor kucing. Kenapa, kau bosan? Kelewat umum ya, kisah-kisah mengenai kucing? Tetapi aku tak punya bahan cerita lain selain kucing. Aku kesusahan jika harus membayangkan kehidupan seekor tokek yang selalu menyapa kami dengan suaranya yang nyaring, “Tekek, tekek.” Tokek itu sering nongkrong di atas jelujur-jelujur kayu penopang atap genteng warung kami. Tepat di atas bak cuci piring. Aku juga akan kelimpungan jika memaksakan diri menulis cerita tentang hikayat seekor tupai yang suka menjatuhkan buah-yang-aku-tak-tahu-namanya ke atas genteng dengan bunyi nyaring. Di atas atap dan sekitar Pujale, beberapa pohon tumbuh rimbun dan tinggi-tinggi. Tupai dan tokek pun sesekali terlihat mondar-mandir.
Akhir-akhir ini aku terkenang betul dengan sepotong cerpen Ernest Hemingway yang berjudul Cat in The Rain. Cerpennya bagus sekali. Bercerita tentang seorang perempuan yang ingin memungut anak kucing yang tengah berteduh di bawah meja di luar hotel.
Kau percaya ada penjual kaki lima yang suka membaca sastra klasik? Ah, ini 2014.
Sayangnya, aku tak menemukan dua ekor kucing yang biasa berguling-guling di sekitar Pujale sore ini. Entah di mana mereka berteduh. Jadi, agak susah membayangkan sekarang kucing-kucing anonim itu sedang apa. Dan aku urung membikin cerita tentang mereka yang kebasahan, kedinginan dan kelaparan.
Eh, tunggu, aku punya cerita tentang seekor anak kucing bernama Imam. Tiga minggu yang lalu ia masih sibuk mengeong—lebih tepatnya merintih?—di Pujale. Di sela-sela bangku dan kolong meja, Imam suka sekali mengendus kaki-kaki manusia yang bergelantungan di sana.  Saat malam hari, ketika sekumpulan orang tengah serius berdiskusi,  dengan wajahnya yang murung, Imam muncul dan minta diperhatikan. Bagiku, ia cukup mengganggu. Pernah kujepit lehernya dan kulemparkan ia di depan parkiran karena sebal. Ia mengganggu diskusi rutin kami dengan tingkahnya yang seolah minta dimanja. Saat itu ia sama halnya dengan kucing anonim yang lain. Kalau dipikir-pikir lagi, aku agak menyesal pernah berlaku kasar terhadapnya.
Imam, anak kucing berbulu abu-abu yang biasa-biasa saja itu mendadak menjadi istimewa. Palsewa, teman kerjaku di warung mie kocok, menyayanginya. Aku tak menyangka, Palsewa adalah jenis lelaki berbudi halus, penyuka hewan berbulu. Ia yang menamai anak kucing kampung yang haus kasih sayang itu dengan nama Imam.
Jadi, ada dua Imam di Pujale. Imam sang pemotong kikil untuk bahan masakan mie kocok dan Imam si kucing malang yang suka nimbrung diskusi. Tiba-tiba saja, ada dua jenis Imam di dalam kehidupan Palsewa. Imam sang sahabat yang sekaligus menjadi teman kerjanya di Pujale dan Imam si kucing yang telah resmi menjadi anak angkatnya.
Begitulah. Aku rasa, saking sayangnya Palsewa pada Imam sehingga kucing itu dinamai Imam. Kreatif ya?
Ngomong-ngomong, aku bertanya-tanya hingga kini, mengapa Palsewa begitu perhatian dengan seekor kucing berjenis kucing kampung tersebut.
Awalnya, kutemukan segelas susu misterius di sudut bak cuci piring, di dekat dua botol bekas air mineral yang berisi rendaman air sabun cuci piring dan beberapa irisan jeruk nipis. Kukira seseorang tak habis meminumnya, dan meletakkannya sembarangan  saja di situ. Barangkali itu susu pesanan seseorang  yang tak jadi diminumnya karena tidak sesuai dengan seleranya. Atau, barangkali susu itu sisa susu kental manis kemarin yang disimpan dalam lemari penyimpanan. Aku rasa siapa pun yang membikinnya, pastilah ia sudah eneg. Lalu kucuci sekalian gelas berisi susu encer itu.
Misteri segelas susu encer di sudut bak cuci piring terjawab keesokan harinya, saat kutemukan lagi sebuah asbak plastik berisi susu di bawah pohon. Dhona, sahabatku yang sering mampir ke Pujale,  mengatakan bahwa itu perbuatan Palsewa. Ia menyaksikan Palsewa tadi pagi menyuapi seekor anak kucing. Saat Palsewa membantu Widya membereskan segala perabot masak, ia menggerutu karena susu yang ia bikin untuk Imam kubuang. Di lain hari, aku menemukan sekerat daging ayam yang terbungkus plastik di atas gerobak. Palsewa sengaja menyisakannya untuk Imam.
Kami, aku dan teman-temanku yang sekaligus menjadi teman Palsewa dan Imam, keheranan. Ada apa dengan Palsewa? Sejak kapan Palsewa menjadikan seekor kucing sebagai bagian dari hidupnya? Berkembang desas-desus bahwa Palsewa merawat kucing untuk mengalihkan perhatiannya pada sang kekasih yang tak lagi mencintainya. Berkembang desas-desus pula, Palsewa mendambakan seorang anak. Karena ia belum beristri, apa boleh buat, anak kucing pun jadi.  Aih, sampai di sini kau merasa prihatin tidak?
“Ini ironi, kita setiap hari berjualan makanan, segini banyak warung yang berjualan dan kita membiarkan seekor anak kucing nyaris mati kelaparan? Imam kutemukan udah sekarat di sana,” tunjuk Palsewa ke bawah Pujale yang dijadikan tempat pembuangan sampah.
“Kau perikehewanan sekali, ya,” komentar Ajik. Saat itu kami tengah membahas bab industri manufaktur-nya Das Kapital.
Eh, kau percaya penjual warung kaki lima membaca dan mendiskusikan buku legendaries yang ditulis oleh Karl Marx itu?
“Tapi kau biarkan tubuhmu sendiri kurus kering gitu. Mana bisa kau membayangkan kucing yang ideal di Pujale adalah kucing yang gemuk? Sementara penjualnya macam ikan asin begini!” sahut Imam, sahabat Palsewa. Keduanya memang sering tak akur, bahkan tak jarang topik-topik kecil pun mereka perdebatkan dengan sengit.
Di suatu pagi, aku, Imam dan Palsewa terlibat lagi obrolan pendek gara-gara seorang anak jalanan yang melintas di depan kami. Ia, sebagaimana halnya anak jalanan yang lain, dekil dan lusuh. Kaosnya kusam, topinya pun kusam pula. Kami sudah bosan memberinya uang receh.
“Dimana orangtuamu?” tanya Imam.
Ia beringsut dari dekat kami. Tanpa bersuara, melengos dan menjauh.
“Bocah itu tak pernah menjawab kalau ditanyain soal orangtua,” kabar Imam.
“Coba kau tanya di mana presidenmu, dia pasti langsung bersuara,” respon Palsewa, tangkas.
Mendengarnya, aku jadi teringat pada sebuah panti asuhan yang berisi sekitar dua puluhan anak kecil. Entah mengapa, aku bercerita pada sepasang sahabat itu mengenai panti asuhan yang anak-anak kecilnya akan berebut minta digendong oleh setiap tamu yang datang. Mereka tampak kehausan. Haus kasih sayang. Mereka pun dengan sangat fasih merengek-rengek mengajak bermain dan memanggil setiap tamu laki-laki dengan panggilan ayah.
“Ah, itu sudah diset sama pengasuh panti asuhannya,” tuduh Palsewa, dingin.
“Maksudmu?” tanyaku, mengerutkan kening.
“Mereka memang diajarkan begitu, agar hati para pengunjung luluh. Tak tega. Akhirnya, mereka mengadopsi salah satu di antara mereka.”
“Lalu apa yang salah? Toh, tak mungkin selamanya panti asuhan merawat mereka. Terlebih jumlah anak-anak yang dibuang terus bertambah,” ujarku sedikit sewot.
“Beberapa hari yang lalu aku baca tulisan yang menarik di  Guardian. Sistem adopsi itu membuat kita melalaikan kewajiban negara.”
Percaya seorang penjual kaki lima baca situs The Guardian? Ini 2014, lho.
“Jadi.. harusnya Imam juga diasuh negara?” simpulku, tak mengerti.
***
Imam sudah lenyap dari peredaran di Pujale. Gara-gara suatu malam, Jali, teman kampus Widya  berkunjung, memesan mie kocok. Ia selalu datang di saat warung hendak tutup. Ia memesan mie kocok bakso dan segelas es serbat tomat. Ia tampak bercakap-cakap dengan Widya. Raut wajahnya sangat serius. Seserius ekspresinya saat meneguk kuah mie kocok sampai tandas dengan cara mencucup mangkok mie.
Imam, sang anak kucing, anak angkat Palsewa, mulai mengeong-ngeong, mengendus-endus di bawah kaki Jali. Tak berselang lama, Jali menanyaiku perihal kardus mie bekas.
“Buat apa?” tanyaku.
“Buat kucing ini. Mau kubawa, boleh?” pintanya.
“Kau ijin dulu sama Palsewa. Pemuda yang cungkring itu,” tunjukku pada seorang pemuda yang sedang duduk khidmat, merokok dengan nikmat.  “Dia ayah angkatnya,” tambahku.
“Oh. Kalau gitu tidak usah saja.”
“Oh, nggak apa-apa. Bawa saja!” sahut Palsewa.
“Kau yakin?” seruku dari  bak cuci piring.
“Ya, itu lebih mudah bagiku,” jawab Palsewa.
“Baiklah, ini..” kataku sambil menyorongkan sekotak kardus. Kuambil kardus bekas mie dari atas gerobak. Dengan senang hati Jali memasukkan Imam ke dalam kardus dan menggendongnya ke arah parkiran.
“Jangan lupa, namanya Imam!” teriakku. Saat punggung Jali menghilang di tikungan, kutanyai Widya soal kepribadian Jali. Apakah ia penyayang binatang?
“Nggak tahu. Dia sedang galau tuh. Baru putus dengan kekasihnya.”
***
Sekarang hanya ada satu Imam yang tersisa di Pujale. Kehidupan penjual mie kocok kembali seperti sedia kala sebelum seseorang di antara kami—para pelayan—merawat seekor kucing anonim. Namun tak lama berselang setelah Imam diadopsi Jali, datanglah dua anak kucing yang lain. Tetapi tak sejahil dan semanja Imam.
“Kita beri nama saja Palsiwi,” usulku.
“Solekah saja!” sergah Palsewa.
Aku dongkol. Aku benci nama belakangku disebut-sebut. Tetapi jauh di dasar pikiran, aku masih mempertanyakan motivasi bawah sadar Palsewa mengenai merawat kucing jalanan. Sekadar iba? Kurasa tidak sepenuhnya tepat. Mungkin Hemingway kalau baca cerpenku, ia bisa menjawabnya.
Beberapa saat kemudian, kudapati foto profil BBM Palsewa berganti dengan si Imam yang sedang ngulet, meregangkan keempat kakinya.
Ia sedang kangen dengan anaknya?
“Aku kemarin iseng bertanya pada Jali,” ujar Widya. “Sekarang nama Imam berganti dengan Gentong.”
“Sudah potong kambing dia? Ganti nama anak harus potong kambing kalau di kampungku,” timpal Palsewa.
“Apa Imam bahagia di sana?” celetukku.
“Menurut Jali, Imam—eh, Gentong—masih beradaptasi di lingkungan barunya. Banyak kucing di kantornya Jali. Mirip penampungan kucing begitu,” tutur Widya.
Palsewa tidak berkomentar apa-apa. Imam yang bertubuh besar hanya terkekeh sambil melinting tembakau. Begitulah. Kisah Imam, si anak kucing jalanan ditutup.
Menarik tidak, sih?

Hujan masih belum reda. Malaikat masih kuat mengangkat galon dari surga dan mengguyurkan isinya ke bumi. Aku inginmenyedu segelas teh hangat untuk diriku sendiri, pikirku. Kudapati Mimin, penjual batagor dan siomay yang kelewat imut, sedang sibuk mencari-cari sesuatu.
“Cari apa Min?”
“Kardus bekas. Masih ada?”
“Buat?”
“Itu..!” tunjuknya ke arah atap  Pujale. Seekor tokek sepanjang setengah lengan tampak bertapa di sana. Aku bergidik. Aku takut pada hewan semacam cicak, kecoak, tikus apalagi tokek. Sembari mengaduk teh, aku kepikiran menulis cerita tentang Tokek dalam Kardus. Mungkin kali ini kisah tentang seorang pedagang di Pujale yang mendadak kaya karena menemukan seekor tokek langka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prelude

Di usia dua puluh empat tahun, ia masih sama, layaknya empat tahun silam. Minus di kedua matanya tak bertambah, empat koma lima. Itu berarti ia tak butuh kacamata baru. Kacamata yang saban hari menggantung di batang hidungnya adalah kacamata yang ia beli empat tahun yang lalu. Kacamata yang sebelumnya, bertangkai goyah dan lensa sebelah kirinya retak. Sebenarnya bisa diperbaiki. Tapi ia memilih untuk tidak. Ia biarkan begitu saja kacamata berbingkai merah tua yang teronggok di laci lemari. Ia diamkan dan mengganti dengan bingkai cokelat warna kayu mahoni. Ia memilih begitu. *** Seorang perempuan berjerawat matang duduk di ujung bangku berwarna metalik dekat teralis yang membatasi peron stasiun dengan teras loket. Ada empat loket, dua dengan antrian mengular untuk pembelian tiket kereta jarak dekat, dan dua yang lain untuk reservasi kereta jarak jauh. Tampaknya melompong, tapi antrian di loket kereta jarak jauh yang pemesannya dilayani hingga sembilan puluh hari sebelum keberan

Dialog dengan Bulan

Sebingkai jendela, persegi panjang, kala siang larut dan di tengah bolongnya malam selalu tertutup. Rapat. Tergembok. Sepasang engselnya nyaris ingin berkarat, dan sepasang ranting besi penyangganya lunglai tak mengait. Dari luar tampak jendela itu miskin makna. Jendela tidak ingin memaknai mentari pagi yang hangat dan bersahabat, tidak pula sudi memaknai semilir angin sepoi yang berdesir-desir. Bahkan ia pun tidak lagi sempat memaknai pecahan air hujan yang menombaki permukaan kacanya dengan kukuh namun tetap romantis dalam ritmenya. Dari dalam rumah berlantai dua, jendela sekotak itu saja yang terus tertutup kelambu rapat-rapat. Jendela yang membuka sekat antara sebilik kamar dengan dunia luar. Namun apa daya, kerangka kayu kusennya bisu, kacanya pun buram berdebu. Sebab, penghuninya sedang rapuh. Aih, lantas mengapa aku kisahkan padamu tentang jendela yang tak berdaya guna? Kemarilah, aku toh berniat kisahkan kenanganku yang sepenggal-sepenggal tentang bulan dan jendela adal

Hari yang Sempurna untuk Pindah

Sumber gambar Hari ini hari kepindahan Remi. Sebuah rumah mungil berdekor minimalis di sebuah kompleks pinggir kota siap menyambut barang-barangnya. Lima tahun lamanya ia menabung untuk membeli sebidang kapling tanah. Jauh-jauh hari ia memesan jasa arsitek untuk memperinci konsep rumah idamannya. “Jadi, saya tambahkan mushola kecil di samping kamar utama untuk pengantin baru kelak, bagaimana?” goda Aeron, sang Arsitek kepada kliennya, tepat satu  tahun yang lalu. Sang klien hanya tersipu malu. Hari Minggu, hari yang sempurna untuk urusan tetek bengek pindahan. Lima tahun sudah ia tidur di ketinggian lantai 14. Di dalam apartemennya, hanya ada satu ruang tidur, satu ruang tamu, satu pantri lengkap dengan bar sebagai pengganti meja makan, satu kamar mandi, dan satu balkon. Satu ruang tidur itu dipenuhi sepotong ranjang ukurang besar, satu set meja kerja, dan satu set wardrobe yang menyatu dengan dinding. Tidak ada yang istimewa, kecuali perabotan itu seragam warnanya, putih ga