Sore ini aku tidak berharap banyak saat kuparkirkan motorku di depan warung burjo. Biasanya ketika senja turun ke kota ini, kami—para perantau—mulai memikirkan menu makan malam. Pilihan lebih banyak pada warung warung di pinggir jalan daripada memasak secara mandiri. Kali ini rasa lapar mendera dera. Aku hanya ingin kenyang dengan sepiring nastel—nasi telur dan segelas es teh. Pikiranku sedang suntuk. Kemelut proyek riset di kantor membuatku sulit berbahagia akhir akhir ini.
“A’ nastel satu, makan sini,” ujarku pada seorang pemuda berkulit gelap. Rambutnya ikal, hidungnya mekar. Agak kurang pas sebenarnya jika aku harus memanggilnya aa’ seperti kebanyakan panggilan akrab untuk para penjaga warung burjo yang berasal dari Kuningan.
“Siap Teh!” serunya ramah. Ia pun berlaku sepertiku, menyamakan semua wanita dengan panggilan teteh. Seakan-akan semua wanita di kota ini berdarah Sunda. Tetapi tak pernah sekali pun kami keberatan dipanggil demikian.
Aku menoleh, memandang sekelilingku. Segerombolan mahasiswa angkat kaki dari bangku bangku panjang yang mengitari meja setengah persegi panjang. Piring piring mereka telah kosong. Biasanya mereka akan lebih lama duduk di sini sambil merokok dan menonton tayangan bola dari tivi di atas etalase. Kehadiranku seorang diri tampak menyolok di antara para lelaki ini. Aku tidak pernah peduli. Warung burjo memang selalu didominasi kaum adam. Namun warung burjo lebih hangat untuk para hawa yang kesepian ketimbang suasana temaram di sela-sela gerobak angkringan yang sempit.
Pandanganku terhenti, tertumbuk pada sesosok lelaki tua berbaju kotak kotak kusam dan bersarung kuning. Ia duduk di sudut bangku dengan khidmat. Di depannya semangkuk bubur ketan hitam tersaji dingin. Aku meliriknya diam diam. Ia tengah sibuk merogoh sesuatu dari tas ranselnya. Ia mengeluarkan kresek berisi beberapa buah pisang. Dikupasnya satu buah dengan hati hati. Ia mengeluarkan silet lipat lalu memotong tipis tipis pisang di atas mangkuk buburnya dengan percaya diri.
Aku mengalihkan perhatian. Berusaha untuk tidak peduli. Seorang lelaki tua yang lain tampak mendekat ke warung. Ia menggandeng seorang bocah laki laki. Mungkin cucunya. Seorang karyawan berkemeja putih juga datang kemari. Seorang mahasiswa, yang sepertinya baru bangun tidur, duduk di sebelahku. Mereka pun melirik kakek berbaju kotak kotak bersarung kuning.
Pemilik warung burjo ini adalah seorang lelaki botak dan berperut buncit. Ia tengah menata gorengan di keranjang plastik beralaskan koran bekas. Tempe goreng hangat berbentuk segitiga sama kaki baru saja dientaskan dari penggorengan. Ia menatanya dengan cekatan. Senyum simpul tersungging di wajahnya. Sore yang cerah dengan musik reggae favorit dan warung yang laris manis adalah perpaduan yang indah baginya.
Aku ikut tersenyum karena suara riang penyanyi reggae yang tak kukenal itu. Sambil lalu kuamati sekali lagi interior warung burjo. Aku tak pernah bosan mengamati detail warung langgananku ini. Warung burjo ini memang agak berbeda ketimbang warung burjo yang lain. Meski menu yang dijual sama persis, namun interior didominasi warna merah bukan biru muda. Tidak hanya spanduk yang dihiasi logo merek mie instan terkenal, namun juga meja, dinding, etalase, bahkan tirai berbentuk kipas tidak luput dari branding sang kapitalis.
Aku mulai menyantap nasi telur dadarku. Di suapan ketiga aku tak dapat membendung hasrat untuk melirik lelaki tua tadi. Ia tengah menyendok buburnya dengan lahap. Kuah bubur berwarna merah muda, onggokan ketan berwarna hitam, dan potongan pisang berwarna kuning muda membentuk kombinasi sajian yang tampak sangat lezat. Aku menelan ludah. Antara iba dan kepingin. Kembali kusibukkan diri dengan mengunyah nastel.
Bob Marley tiba-tiba duduk di sampingku, ia berdehem, seakan ingin menegaskan keberadaannya. Ia tengah makan mie goreng telur. Ia pasti takjub dengan rasa mie yang gurih dengan porsi mini. Ia mungkin sebentar lagi meminta penjelasan padaku. Akan kukatakan padanya, di negeri ini kapitalis seakan akan mampu merakyat. Meski grafik sahamnya naik turun di bursa efek, namun loyalitas akar rumput tak pernah goyah. Asal mie instan tetap murah, sama halnya rokok tetap terjangkau, para lelaki akan sangat setia untuk nongkrong di warung melebihi kesetiaan mereka pada pasangan masing masing.
“Luar biasa! Warung ini seperti ruang publik yang hidup karena hegemoni mie instan! Luar biasa!”
Aku mengernyit, ia kagum dengan tulus atau berpura pura kagum? Aku semakin tidak mengerti saat Bob Marley mengacungkan jempol. Keanehan yang baru kusadari sore ini membuatku menertawai ketidakpekaan seorang pelanggan burjo sejati. Bendera Rastafari—hijau, kuning, merah—yang ditempel pemilik burjo di salah satu sisi warung tampak serasi dengan bungkus mie goreng instan: merah, kuning, hijau. Entah apa keterkaitan antara mie instan yang cukup direbus tiga menit dengan gerakan keagamaan di Jamaica.
Mendadak, Bob Marley lenyap. Imajiku buyar gara gara lelaki tua di sudut bangku mulai mengusap bibirnya dengan lengan kemejanya yang kedodoran. Semangkuk bubur ketan hitam telah tandas. Mangkuk tampak bersih tanpa menyisakan barang sedikit kuah pun.
Ia tengah membuka tutup tabung kecil yang berisi lembaran uang. Aku terkesiap, mengenali benda yang ia fungsikan menjadi dompet tersebut. Tabung itu sering dijumpai di acara resepsi. Tabung dari plastik itu dulunya pasti berisi satu set alat kecantikan yang juga murahan. Biasanya terdiri dari alat kikir, gunting kuku, dan pencabut bulu ketiak dan entah mengapa dipilih para mempelai sebagai buah tangan pernikahan mereka.
“Nggak usah, Pak,” ujar pemuda rambut ikal sambil menyingkirkan mangkuk yang telah kosong.
Sang lelaki tua bergumam pelan, “mugi mugi mlebet suwargo...” (moga moga masuk surga).
Dengan gerakan yang sangat lamban ia keluar dari warung burjo. Hampir semua orang di sini menoleh ke belakang, menatap kepergiannya. Baru kutahu, ia menyandarkan sepasang kruk di tembok pembatas warung. Baru kusadari pula, ia memiliki sepasang kaki yang bengkak dan pendek. Entah bagaimana dorongan kuat itu muncul, aku segera membayar menuku.
Lelaki tua itu lenyap dari pandangan. Kukira ia berjalan ke arah jalan raya yang ramai. Aku pun sedikit kecewa, kuputar setir motor ke kanan. Terdapat banyak gang di dekat warung burjo yang sambung menyambung di permukiman ini. Warung burjo langgananku ini hanya selisih tiga gang dari rumahku. Dari kejauhan kudapati lelaki tua itu tengah berjalan di gang kedua. Aku menguntitnya dari belakang. Ia berpapasan dengan seorang wanita. Sang wanita tampak mengulurkan uang. Aku kenal wanita itu. Bu Siti, tukang pijat langgananku.
Bu Siti berbelok, memasuki sebuah rumah berpagar rapat. Aku bergegas mendekati lelaki tua berbaju kotak kotak bersarung biru. Aku terpaksa melintasi sebuah rumah sempit yang dihuni tiga perempuan manula. Mereka sepertinya saling bersaudara dan memutuskan hidup bersama hingga tua. Mereka sering duduk di tepi gang sambil mencabuti uban. Siapa tahu, kakek itu hendak mengunjungi tiga nenek bersaudara. Tetapi ia terus berjalan menyusuri gang yang senyap.
Kuparkir motorku di sebelah lelaki tua. Kuulurkan sejumlah uang yang tak seberapa. Lelaki tua itu menerimanya dengan senyum tulus, “Kulo dungoaken, mugi mugi mlebet suwargo..” (Saya doakan, semoga masuk surga..)
“Amin,” bisikku, tercekat. Kuputar kunci motor, segera meneruskan perjalanan. Kugantung pertanyaan yang sejak tadi mengganjal.
Bade tindak pundi Pak e?
Mau kemana Pak?
Kutinggalkan lelaki tua di belakangku tanpa kuintip sekali pun dari kaca spion. Rumahku semakin dekat. Sesampainya di depan gerbang, kutatap gang yang lurus menuju jalan raya di depan rumahku yang membentuk garis tusuk sate. Rupanya, aku menunggu lelaki tua itu berjalan keluar dari gang sebelah ke gang kontrakanku. Tidak kunjung kulihat tubuhnya yang ringkih dan punggungnya yang bengkong.
Apa mungkin ia sedang menghampiri rumah rumah untuk meminta sumbangan?
Atau jangan jangan.. ia jelmaan Nabi Khidir?
Aku teringat sebuah mitos. Nabi Khidir suka sekali menjelma menjadi pengemis renta dan orang orang yang berbelas kasih padanya akan dikabulkan doanya. Tapi hari ini Malam Jumat, bukan Jumat siang yang seperti biasa diceritakan sebagai hari penyamaran Nabi Khidir.
Kegelisahanku menjadi jadi. Kuputar kunci, kulintasi gang yang tadi sambil berharap melihat lelaki tua itu masih di sana. Ingin kutanyakan pertanyaan yang sedari tadi kutahan tahan, yang terpaksa kusembunyikan di balik sosok khayal Bob Marley. Ya, lelaki itu masih berjalan dengan terbungkuk bungkuk di gang yang sama. Aku merutuk diriku sendiri yang kelewat sungkan.
Aku tak mungkin menguntit di belakang punggungnya persis. Deru motorku akan sangat mencurigakan. Aku akan tampak seperti orang berbahaya yang akan membunuh kakek tua tak bersalah di gang sempit menjelang senja. Lalu orang orang akan mengira aku memutilasi tubuhnya yang kering dan memotong motongnya seperti ia mengiris pisang di warung burjo tadi. Kujadikan sarung kuningnya menjadi buntelan potongan mayatnya. Lalu kupendam buntelan itu di sepetak tanah kaplingan di pinggir gang.
Aku melihatnya sekilas. Ia terus berjalan dalam keheningan dengan ransel koyak. Kukira ia pengemis, sibuk mengetuk pintu pintu rumah penduduk. Tetapi ia tak menjeda langkahnya, kecuali tadi saat bertemu dengan Bu Siti dan bertemu denganku. Aku melintasinya. Tingkahku benar benar mencurigakan, andai saja matanya tajam mengawasiku, justru aku yang mengawasi gerak geriknya kini dan merasa bersalah—tapi juga sedikit lega, karena mungkin saja ia rabun senja. Jadi ia tidak mungkin tahu bahwa aku sedang gelisah karenanya.
Hendak kemana gerangan, Kek?
Lelaki tua itu tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang sangat misterius. Aku harus memastikan tujuannya. Mungkin ia mau berkunjung ke rumah kerabatnya di sekitar sini. Atau mungkin ia tersesat. Atau mungkin ia hendak ke terminal sedangkan angkot jam sekian telah jarang. Dengan kecepatannya yang sangat lamban, dengan kaki bengkaknya yang nyeri, bagaimana mungkin aku bisa pulang dengan tenang? Rasa penasaran ini gentayangan!
Aku keluar gang, melewati jalan raya, lalu masuk gang yang lain. Aku seperti orang linglung, berkeliling di antara gang, memastikan keberadaan lelaki tua itu. Lagi lagi aku kehilangan jejak. Kali ini aku harus menanyakan tujuannya. Kutemukan lagi sosoknya dari kejauhan. Ia berjalan ke arah jalan raya.
Ya, aku harus menawarkan tumpangan untuknya.
Aku bisa gila mendapatinya jalan berkilo kilometer jauhnya.
Kuarahkan motorku ke gang sebelah yang berjarak satu gang di mana sang kakek terakhir kali kulihat. Aku lupa di gang itu berdiri sebuah masjid. Tampak lusinan lelaki berjambang dengan gamis putih dan peci bundar berdiri di depan masjid. Sepertinya pengajian rutin belum dimulai. Beberapa orang menepi ketika melihatku dari kejauhan. Aku menjadi rikuh. Entah mengapa, aku selalu rikuh melintasi masjid yang satu ini. Dari beberapa orang yang menepi, memberi jalan, kutahu mereka mempunyai istri istri bercadar dan putri putri yang bercadar pula.
Kupercepat laju motorku, hampir saja kutabrak lelaki muda bergamis. Tujuanku adalah jalan raya. Sesampainya di ujung gang, di antara riuhnya lalu lintas, lelaki tua itu tampak kesusahan menerobos kepadatan kendaraan serta orang yang lalu lalang. Trotoar telah diduduki para pedagang kaki lima. Mereka tengah mendirikan tenda dari terpal oranye. Langit telah berubah pula menjadi oranye kemerahan. Kegelisahan masih membayangiku. Rasanya ingin putar balik. Tapi kelewat pengecut jika aku bahkan tak berani menanyai seorang lelaki asing yang rapuh.
Seorang laki laki, pemilik angkringan, memandangku penuh arti. Sudah lama kami tak bertemu muka, semenjak angkringannya digusur karena toko roti mewah pindah tempat. Kini setelah toko roti pindah ke gedung baru yang lain, angkringan itu pun kembali merayakan eksistensinya.
Tanpa pikir panjang lagi dan lagi, aku menghampiri lelaki tua berbaju kotak kotak bersarung kuning. Kubuka kaca helm, “Badhe tindak pundi, Mbah?”
Lelaki tua itu menatapku sejenak. Mungkin sedang mengingat ingat, mungkin pula mencoba memahami tegur sapaku yang ditelan kebisingan jalan raya, atau justru bertanya tanya dengan penuh kecurigaan.
“Badhe ten Mesjid!”
Aku terhenyak. Sejenak merasa telah dijebak prasangka melankolis. Aku tersenyum sekilas lalu pergi meninggalkannya, masuk ke gang sebelah. Keresahanku menguap, berganti keresahan yang lain. Sesampainya di rumah, Adzan Magrib berkumandang dari berbagai penjuru mata angin.
“Bagaimana mungkin aku mencemaskan seorang kakek yang hendak berkunjung ke Rumah Tuhan?” gumamku, kalut.
Komentar