Langsung ke konten utama

Nyanyian Lidi

Olika tertahan dalam sel pengap. Suara tetesan sisa hujan melengkapi kebekuan yang menyiksa. Buku-buku catatannya telah diberangus api di depan sel. Bekas abunya pucat seperti wajah kematian. Ia menatap serdadu dengan tatapan ngilu. Dihampirinya serdadu yang tengah berdiri di luar sel. Di dekat pintu yang tergembok sempurna.
“Kita satu bangsa, kau tahu?” desis Olika.
Serdadu tersebut menoleh ke belakang. Meludahinya.
***
Mereka datang, serombongan dengan pelbagai plat motor menghambur di pekarangan rumah joglo Kepala Desa Tangkup. Mereka berasal dari kota sejauh 135 kilometer arah timur. Mereka datang, seolah-olah tamasya di akhir pekan. Beberapa di antara mereka selalu terkikik-kikik renyah di sepanjang jalan. Pak Chaz mengundang mereka untuk meneruskan jejak langkah perjuangan kaum tani. Kepala desa muda yang bernampilan mirip penyanyi ibukota tersebut mendapati serombongan pemuda bernyali besar. Mereka bersenjatakan jimbe, biola, gong, akordion, kuas, pena, dan papan sablon. Mereka datang membawa berkantung-kantung semangat.
“Besok kita langsung mulai latihan orkestra kentongan,” ujar Wak Ang. Sebagai pimpinan rombongan yang baru dibentuk kepanitiaannya sebulan yang lalu, ia memiliki kemampuan merajut konsep parade dengan sangat cepat.
“Ya, kita kerahkan suporter sepakbola Desa Tiwar. Massa mereka paling banyak nanti,” komentar Pak Chaz menanggapi agenda besok pagi.
Rombongan yang terdiri dari para manusia seni dan pembelajar ini segera melahap hidangan. Dua orang wanita paruh baya mengedarkan piring berisi nasi kuah santan dengan irisan daging ayam kampung. Seorang lelaki tua berpunggung bengkok mengintip dari balik tirai untaian kerang. Air mukanya penuh curiga. Seorang wanita di antara mereka menengok ke belakang. Ia merasa diawasi. Ia menoleh dan tersenyum pada lelaki tua itu. Senyum santun seorang asing.
Lelaki tua berjengit. Buru-buru ia tenggelam dari balik tirai. Kepingan kerang bertumbukan, bergemirincing nyaring.
***
Latihan parade membuat pekarangan depan surau penuh sesak. Warga tumpah ruah, tua muda berbondong-bondong mempersiapkan parade. Para penari cilik berbaris di sudut, di bawah naungan pohon ketapang.  Penata gerakan, Ravia dengan indah memperagakan tarian tandur dengan keranjang besek.  Kelompok ibu-ibu dan simbah-simbah memperagakan atraksi lesung. Musik bertalu-talu. Tawa serta senyum merekah di masing-masing bibir kering, bibir kelam beraroma tembakau.
“Jadi ini permainan asal Pulau Timur. Biasa dimainkan oleh para pemuda pemudi sambil berdendang. Anda-anda hanya perlu loncat mengikuti hitungan dan awas kaki kejepit!” seru Kapi sambil meloncat-loncat sesuai irama di antara empat bilah bambu. “Tapi nanti kita ubah lagunya dengan lagu suwe ora jamu, setuju?”
Anak-anak kecil bersorak. Mereka tak sabar menjajal empat bilah bambu. Sedangkan serombongan yang lain duduk melingkar di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Kedo duduk di atas batu, ia memegang kentongan dan tengah sibuk membagi peran anak-anak sebagai pemukul kentongan. Ketukan tercipta, suara bertalu-talu yang tadinya tak beraturan kini melahirkan harmoni. Gaung yang dihasilkan tabung-tabung bambu semakin merdu terdengar. gaduh tapi menentramkan, seperti koak burung di kala senja di atas hamparan sawah.
Seorang bocah berkaos merah tampak serius memperhatikan instruksi Kedo. Tubuhnya yang paling kecil di antara bocah yang melingkar. Ia memukul kentongan dengan bibir mengerucut, tanda keseriusannya. Ia terus memukul kentongan dengan ritme yang tepat. Saat beberapa bocah lain mulai bosan dan beralih ke permainan empat bilah bambu, ia mengambil duduk di sudut teras rumah Pak Min, kepala desa Tawir. Ia berkutat dengan kentongan mininya dan kembali berlatih, memukul tabung bambu dengan hitungan yang ia rapal berulang kali.
“Halo,” sapa wanita muda, Olika, pencatat perjalanan dari rombongan manusia seni.
“Siapa namamu?” tanya Olika. Tapi bocah tersebut tak mau menoleh. Olika kembali menulis. Jemarinya menari di atas kertas.  Ia larut dalam lautan kata. Ia hanyut dalam pusaran energi yang dihasilkan dari kerumunan orang yang berkesenian bersama. Olika berusaha mengikat kata-kata yang berhamburan dari otaknya. Aksara berkejaran dengan bunyi lesung, kentongan dan bunyi bunyian lain dari tengah pekarangan surau.
Sang bocah berkaos merah mulai meliriknya, seolah ia terganggu dengan gerakan jemari Olika yang senyap tanpa suara. Olika seperti terbius dengan acara menulisnya. Ia tak menyadari bahwa bocah berkaos merah tersebut menatapnya lekat-lekat, penuh hasrat ingin tahu pada buku Olika.
“Kau bisa bacakah?” tanya Olika akhirnya, tersadar. Pena terhenti, dua halaman buku penuh dengan huruf-huruf tegak bersambung.
“Aku kelas empat,” ujar sang bocah berkaos merah, lalu berdiri menghampiri lingkaran anggota orkestra kentongan.
Olika tertegun. Ia pikir bocah berkaos merah itu masih belum sekolah. Tubuhnya mungil dan kurus kering. Ia taksir usianya sekitar empat hingga lima tahun. Ia mulai terusik dan menatap punggung bocah berkaos merah diam-diam. Mengamati segala gerak tubuhnya.
“Dia umur tujuh belas, Mbak,” celetuk Jam, adik Pak Min.
“Eh?”
“Cuma yah, dia terlahir dengan kondisi demikian.”
***
Di pekarangan rumah Pak Welirang, Desa Rembuksa, warga bergotong-royong membuat ogoh-ogoh. Rombongan manusia seni turut serta membuat macam macam hiasan untuk diarak di parade minggu depan. Sementara itu, di bawah pohon mangga, kepala liong tergeletak menyeramkan. Liong ini rencananya akan mengular, menari di parade sebagai simbol kekejaman pimpinan serdadu.
“Mbak asli Rembuksa?” tanya Olika, duduk di atas rerumputan yang empuk. Seorang perempuan yang sedang menyuapi anaknya dengan bubur menggeleng pelan. Ia tersenyum simpul.
“Saya aslinya Kota Diriyan, Mbak. Suami saya yang asli sini,” jawab perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu rumah tangga beranak satu. Asih namanya.
“Saya di sini baru dua tahun, Mbak. Awalnya saya dan suami bertemu di negeri tetangga.. saat kontrak kerja kami habis, kami memutuskan tinggal di Rembuksa,” tutur Asih.
“Mbak nggak ada keinginan balik ke negeri tetangga?” tanya Olika, penasaran. Bagi siapa pun yang pernah hidup di negeri tetangga nun jauh di sana, kelap-kelip lampu di ujung menara seperti mercusuar kehidupan bagi para perantau. Seringkali mercusuar tidak sanggup menunjukkan arah, justru membutakan mata dan membenturkan sekoci pada karang.  
“Bagi saya dan suami, anak semata wayang ini yang paling penting. Kehidupan ibukota negeri tetangga tidak akan membuat anak saya benar benar bisa menikmati masa kecilnya. Yah, walaupun begitu majikan saya di sana sampai sekarang masih menghubungi, meminta saya kembali berkerja padanya.”
“Jadi Mbak Asih setiap hari kegiatannya apa saja?” tanya Olika lebih lanjut.
“Merawat anak dan merawat ladang, Mbak,” jawab Asih sambil tertawa malu-malu.
“Oh, suami petani semangka?”
“Bukan, suami dan saya petani cabai. Yah, maklumlah Mbak harga semangka anjlok dua musim panen terakhir. Padahal di kota, tengkulaknya masih memasang harga tinggi. Yah, kita rugi dong ya Mbak lama-lama kalau masih bertahan dengan semangka.”
“Tapi Mbak suatu saat bakal balik ke negeri tetanggakah?”
“Wah, saya nggak tahu. Manut suami saja. Tapi di sini saya sudah betah,” ucapnya jujur.
Olika mengangguk, sepakat. Desa-desa di pesisir Uratserat memang sangat memikat. Ratusan petak ladang ditumbuhi pelbagai tanaman. Semangka, pepaya, cabai, terong, jeruk, jambu, padi dan kacang tumpah meruah. Alam memberkati para petani dengan tanah yang subur. Sayangnya, lima tahun yang lalu serdadu rakus mencoba merebut segalanya. Segala kedamaian dan berkat Tuhan di pesisir Uratserat.
Para petani satu persatu tumbang ditembak serdadu. Para petani yang berani melawan keberingasan tamu tak terhormat. Mereka yang tadinya memohon izin untuk diperbolehkan berlatih perang akhirnya justru merusak lading petani. Menginjak injak semangka, mencerabut kacang, dan menumbangkan batang batang pohon pepaya yang tumbuh pendek pendek.
Serdadu mulai membangun pagar untuk benteng pertahanan. Dari timur ke barat, sepanjang dua puluh dua setengah kilometer Uratserat.  Minggu depan mereka akan meresmikan gerbang raksasa di pantai Balma wilayah desa Rembuksa. Mereka—rombongan manusia seni—memutuskan turut turun bersama warga tuuh desa di Uratserat untuk menolak kesewenang wenangan serdadu.
“Penindasan harus berakhir! Kita maju dengan parade untuk menggugah kesadaran banyak orang. Kita tak takut melawan mereka!” seru Noras berapi api. Hari parade semakin dekat. Para manusia seni semakin cepat bergerak. Suasana mulai menegang. Segala macam persiapan parade hampir selesai.
Olika telah menghabiskan lusinan lembar untuk mencatat segala kisah perjuangan kawan kawan dan warga. Saat ia lalu lalang membantu warga mengangkut sesaji dan alat alat music, samar samar terdengar suara memanggil namanya. Olika terhenyak, mentari masih belum menghangat sama sekali. Ia tak melihat siapa pun dari jarak radius lima meter darinya. Sekelilingnya tampak buram, kacamatanya berembun. Kabut masih melayang.
“Mereka akan bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Hati hati O-liii-kaa. O-lii-kaa.”
Bulu kuduk Olika meremang. Namun ia tidak berlari. Ia hanya mematung di depan gerbang rumah Pak Chaz. Suara sapu lidi berkeresek, menggesek tanah, mengguratkan gari garis tipis di tanah. Olika tersenyum. Ia mendapati sesosok tubuh lelaki tua, membungkuk, dan semakin bungkuk dengan punggung bengkok, sedang menyapu pekarangan.
Saat matahari semakin meninggi, segala tarian dan usungan siap diarak. Mengular sepanjang dua kilometer menuju depan gerbang raksasa serdadu. Asih menggendong anaknya yang demam. Airmukanya ceria, menatap sang suami yang turut serta dalam arak arakan. Ia bangga suaminya cukup berperan dalam acara ini. Namun, karena anak yang sedang demam, membatalkan keikutsertaannya dalam parade.
Orkestra kentongan memeriahkan barisan arak arakan. Suara yang bertalu talu mengobarkan semangat para rombongan manusia seni dan warga yang melebur menjadi satu. Sang bocah kaos merah tampak gagah memukul kentongan sesuai ritme. Mereka semakin dekat dengan pantai. Mereka telah melewati jalan setapak yang panjang penuh batang batang ramping tebu dan jagung. Itu artinya, mereka semakin dekat menuju lapangan depan markas serdadu.
Gerbang raksasa telah terlihat tepat saat matahari di atas kepala. Suara dentuman tiba-tiba mengoyak bunyi bunyian dari orkestra kentongan. Suara tembakan susul menyusul.  Rombongan arak arakan pecah berhamburan. Parade musnah dalam hitungan detik. Dan menit menit berikutnya adalah tumpahan darah segar di antara bongkahan semangka yang terinjak injak, tebu dan jagung rebah, ogoh ogoh tumbang dan para manusia seni berguguran.
***
Olika terkapar. Ia mendengar suara orang menyapu pekarangan. Suara gemeresak dedaunan kering dan gesekan sapu lidi membuatnya ingin terus terlelap. Pak tua masih menyapu dalam diam, Asih masih merawat anak semata wayangnya dengan diri yang kehilangan tulang rusuknya, dan bocah berkaos merah yang terlepas dari maut, memunguti lidi, ikut menyapu. Kembali dan terus akan bergerak dengan rombongan lebih besar dari desa-desa yang masih tersisa. Mereka bercaping, menggenggam ikatan lidi untuk menyapu ketakutan dari diri mereka.  Menyapu kekejaman serdadu yang merebut tanah mereka.
 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prelude

Di usia dua puluh empat tahun, ia masih sama, layaknya empat tahun silam. Minus di kedua matanya tak bertambah, empat koma lima. Itu berarti ia tak butuh kacamata baru. Kacamata yang saban hari menggantung di batang hidungnya adalah kacamata yang ia beli empat tahun yang lalu. Kacamata yang sebelumnya, bertangkai goyah dan lensa sebelah kirinya retak. Sebenarnya bisa diperbaiki. Tapi ia memilih untuk tidak. Ia biarkan begitu saja kacamata berbingkai merah tua yang teronggok di laci lemari. Ia diamkan dan mengganti dengan bingkai cokelat warna kayu mahoni. Ia memilih begitu. *** Seorang perempuan berjerawat matang duduk di ujung bangku berwarna metalik dekat teralis yang membatasi peron stasiun dengan teras loket. Ada empat loket, dua dengan antrian mengular untuk pembelian tiket kereta jarak dekat, dan dua yang lain untuk reservasi kereta jarak jauh. Tampaknya melompong, tapi antrian di loket kereta jarak jauh yang pemesannya dilayani hingga sembilan puluh hari sebelum keberan

Dialog dengan Bulan

Sebingkai jendela, persegi panjang, kala siang larut dan di tengah bolongnya malam selalu tertutup. Rapat. Tergembok. Sepasang engselnya nyaris ingin berkarat, dan sepasang ranting besi penyangganya lunglai tak mengait. Dari luar tampak jendela itu miskin makna. Jendela tidak ingin memaknai mentari pagi yang hangat dan bersahabat, tidak pula sudi memaknai semilir angin sepoi yang berdesir-desir. Bahkan ia pun tidak lagi sempat memaknai pecahan air hujan yang menombaki permukaan kacanya dengan kukuh namun tetap romantis dalam ritmenya. Dari dalam rumah berlantai dua, jendela sekotak itu saja yang terus tertutup kelambu rapat-rapat. Jendela yang membuka sekat antara sebilik kamar dengan dunia luar. Namun apa daya, kerangka kayu kusennya bisu, kacanya pun buram berdebu. Sebab, penghuninya sedang rapuh. Aih, lantas mengapa aku kisahkan padamu tentang jendela yang tak berdaya guna? Kemarilah, aku toh berniat kisahkan kenanganku yang sepenggal-sepenggal tentang bulan dan jendela adal

Hari yang Sempurna untuk Pindah

Sumber gambar Hari ini hari kepindahan Remi. Sebuah rumah mungil berdekor minimalis di sebuah kompleks pinggir kota siap menyambut barang-barangnya. Lima tahun lamanya ia menabung untuk membeli sebidang kapling tanah. Jauh-jauh hari ia memesan jasa arsitek untuk memperinci konsep rumah idamannya. “Jadi, saya tambahkan mushola kecil di samping kamar utama untuk pengantin baru kelak, bagaimana?” goda Aeron, sang Arsitek kepada kliennya, tepat satu  tahun yang lalu. Sang klien hanya tersipu malu. Hari Minggu, hari yang sempurna untuk urusan tetek bengek pindahan. Lima tahun sudah ia tidur di ketinggian lantai 14. Di dalam apartemennya, hanya ada satu ruang tidur, satu ruang tamu, satu pantri lengkap dengan bar sebagai pengganti meja makan, satu kamar mandi, dan satu balkon. Satu ruang tidur itu dipenuhi sepotong ranjang ukurang besar, satu set meja kerja, dan satu set wardrobe yang menyatu dengan dinding. Tidak ada yang istimewa, kecuali perabotan itu seragam warnanya, putih ga